Mediterania, 2 Oktober 2025 — Armada kemanusiaan Global Sumud Flotilla (GSF) yang membawa obat-obatan dan pangan menuju Gaza kembali menghadapi kenyataan pahit. Kapal-kapal mereka diserang dan dihalangi di perairan internasional.
Rabu malam (1/10), kapal Sirius, Alma, Adara, Spectre, Aurora, Huga, dan beberapa kapal lain dilaporkan diintersep secara ilegal. Siaran langsung yang sempat jadi sumber kabar utama tiba-tiba terputus, meninggalkan dunia dalam tanda tanya tentang nasib ratusan relawan dan awak kapal.
Hingga Kamis pagi (2/10), 15 kapal telah dihentikan Israel. Namun sekitar 30 kapal lainnya masih terus berlayar — hanya berjarak 120 mil laut dari Gaza. Dekat, tapi tetap terasa jauh karena blokade yang sudah berdiri hampir 18 tahun.
Armada Kemanusiaan Terbesar
GSF adalah armada kemanusiaan terbesar dalam sejarah solidaritas dunia untuk Palestina. Lebih dari 45 kapal, membawa 500 aktivis dari 46 negara. Tidak ada senjata, tidak ada agenda politik. Yang dibawa hanya obat-obatan, makanan, dan tekad untuk menembus blokade yang mencekik 2,3 juta penduduk Gaza.
“Tujuan kami jelas: murni kemanusiaan,” tegas salah satu deklarasi aktivis. Tapi seperti flotilla sebelumnya, Israel memperlakukan mereka bak ancaman. Meriam air ditembakkan, komunikasi diputus, awak kapal ditahan paksa.
Aktivis asal Indonesia, Muhammad Husein, melaporkan bahwa kapal observasi yang ia tumpangi terpaksa mengubah haluan ke Siprus demi menyelamatkan dokumen. “Semua rekaman perjalanan ini akan kami jadikan bukti di peradilan internasional,” ujarnya.
Sementara itu, Kapal Nusantara yang membawa delegasi Indonesia — termasuk Wanda Hamidah dan Fathur Harits — terpaksa berhenti di Pelabuhan Portopalo, karena ada masalah pada mesin kapal. Meski gagal merapat ke Gaza, Wanda menegaskan: “Solidaritas rakyat Indonesia untuk Palestina tidak akan berhenti. Jika perjalanan tidak bisa dilanjutkan, maka suara kami akan terus melaju dengan berbagai cara.”
Menembus Blokade: Jalan Terjal Kemanusiaan
Blokade Gaza bukan sekadar pagar besi di darat atau kontrol laut dan udara. Ia menjelma dinding tak kasat mata yang mengurung kehidupan sehari-hari. Bahan bakar, listrik, air bersih, obat-obatan, semua serba terbatas. Rumah sakit hampir kolaps, anak-anak tumbuh dalam trauma, seluruh generasi hidup dalam “penjara terbuka” terbesar di dunia.
Karena itu, setiap pelayaran flotilla bukan sekadar simbolik. Ia adalah cara membunyikan alarm moral agar dunia tak lagi berpura-pura tidak tahu. Setiap kapal membawa pesan sederhana: Palestina tidak sendirian.
Para relawan tahu risikonya besar — bisa ditahan, dipenjara, bahkan kehilangan nyawa. Tapi mereka tetap berangkat. Sebab diam berarti ikut melanggengkan keheningan yang mematikan.
Dari Mediterania ke Jalan-Jalan Dunia
Serangan ini memicu gelombang protes global. Turki mengecam keras. Presiden Kolombia Gustavo Petro bahkan mengusir diplomat Israel dan membatalkan perjanjian dagang setelah dua warganya ditahan.
Di Eropa, ribuan orang turun ke jalan di Paris, Berlin, dan Brussels. Italia mengumumkan mogok nasional di pelabuhan Genoa. Dari Asia hingga Amerika Latin, aksi solidaritas bermunculan. Suara kemanusiaan tak bisa dibungkam, meski kapal-kapal dihentikan.
“Setiap manusia berarti. Setiap anak Palestina berarti. Kita punya tanggung jawab untuk tidak membiarkan mereka sendirian,” seruan itu menggema di banyak kota.
Gaza & Flotilla adalah Simbol Keteguhan
Global Sumud Flotilla bukan hanya soal bantuan. Ia adalah simbol bahwa kemanusiaan tak boleh kalah oleh blokade. Setiap kapal yang berangkat membawa harapan. Setiap serangan Israel justru memperluas sorotan dunia pada ketidakadilan yang terjadi.
“Selama ada laut, selama ada manusia yang berani berlayar, selama ada hati nurani yang menolak diam, Gaza tidak akan ditinggalkan sendirian,” ujar seorang aktivis. Kata-kata itu kini jadi gema yang menembus batas negara, menyalakan harapan jutaan orang.