Di usianya yang sudah senja, Mbah Suratman (73 tahun) masih setia menapaki jalan panjang kehidupannya dengan cara yang sederhana: berjualan es lilin. Bukan dengan motor, bukan pula dengan sepeda. Hanya sepasang sandal tipis yang sudah bolong, yang setia menemani langkah kakinya dari satu sudut kampung ke sudut lainnya.
Setiap pagi, dengan senyum yang tak pernah pudar, Mbah Suratman membawa termos berisi es lilin. Harapannya sederhana: ada anak-anak yang membeli, ada tetangga yang menyapa, atau ada rezeki yang bisa ia bawa pulang untuk sekadar menyambung hidup. Namun kenyataannya sering kali tak seindah itu. Ada hari-hari panjang ketika beliau pulang dengan termos yang masih penuh, tanpa satu pun es yang terjual.
Hidup Seorang Diri
Mbah Suratman hidup seorang diri. Ia tidak memiliki istri, tidak pula anak. Rumah yang dulu menjadi tempat tinggalnya pun kini sudah roboh, tak layak dihuni. Dengan keadaan itu, ia akhirnya harus menumpang di rumah saudaranya. Meski begitu, rasa segan membuatnya tak ingin terlalu merepotkan. Itulah sebabnya ia tetap berjualan es lilin, meski hasilnya kerap tak seberapa.
Bagi Mbah Suratman, setiap langkah adalah wujud kemandirian. Meski tubuh renta, meski hidup terasa sepi, ia masih ingin berjuang sendiri. Ada harga diri yang ia jaga, ada semangat yang enggan padam.
Senyum yang Tak Pernah Hilang
Suatu siang, tim relawan menghampiri beliau di tepi jalan. “Sampun payu pinten, Mbah?” tanya salah satu relawan dengan bahasa Jawa halus, menanyakan sudah berapa banyak es lilin yang laku.
Mbah Suratman hanya tersenyum. Termos itu masih penuh, belum ada es yang berpindah tangan. Ia sempat menoleh dengan tatapan malu-malu, tetapi tetap menjaga senyumnya.
Yang membuat pertemuan itu semakin membekas adalah pemandangan sepasang sandal berbeda warna yang dipakainya. Sandal itu tipis sekali, bahkan sudah bolong di bagian telapak. Ketika beliau meregangkan kaki untuk beristirahat sejenak, para relawan sempat bergurau, “Sandale Mbahe sangar, eren tenan!” (Sandal Mbah keren sekali!). Mbah Suratman hanya tertawa, ikut larut dalam kehangatan canda sederhana itu.
Senyumnya tulus, lepas, seolah ingin berkata: “Hidup boleh sulit, tapi hati tetap harus gembira.”
Rumah yang Runtuh, Hati yang Kokoh
Ketika relawan berkunjung ke kediaman beliau, tampak jelas kondisi rumah yang sudah tak layak lagi. Dinding yang roboh, atap yang bocor, dan lantai yang sudah tak rata. Tidak ada lagi kenyamanan untuk disebut rumah. Karenanya, Mbah Suratman memilih menumpang di rumah saudaranya. Namun, bayang-bayang rumah lama itu tetap ada di benaknya, seakan menjadi saksi perjuangan panjang hidupnya.
Meski hidup dalam keterbatasan, beliau tidak pernah mengeluh panjang. Senyum yang sama selalu terbit, bahkan ketika menceritakan pahit getir hidupnya. Senyum itu seolah menjadi kekuatan, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga bagi siapa pun yang menemuinya.
Saatnya Kita Menemani
Kisah Mbah Suratman adalah potret nyata perjuangan lansia di negeri ini. Di usia yang seharusnya bisa menikmati masa tua dengan tenang, ia masih harus berjalan puluhan kilometer demi menafkahi dirinya sendiri. Sandalnya yang bolong, rumahnya yang roboh, dan hidupnya yang sepi bukanlah sekadar cerita, melainkan panggilan bagi kita semua untuk peduli.
🔗 https://adaorangbaik.com/campaign/bantu-mbah-suratman-pejuang-jalanan
🤲 Mari kita temani langkah Mbah Suratman. Mari kita pastikan beliau tidak berjalan sendirian dalam sisa usia yang ada. Sedikit bantuan dari kita, bisa menjadi cahaya besar bagi hari-harinya.